Rianfadilah's Blog

Judul Artikel: Relevansi Pendidikan Agama Di Sekolah

August 25, 2009
Leave a Comment

Artikel:

RUU Sisdiknas yang akan disahkan menjadi UU Sisdiknas mendapat banyak catatan kritis dari berbagai pihak yang peduli dengan pendidikan di negara kita. Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah masalah penekanan pada pendidikan agama dan ketaqwaan yang diberikan porsi terlalu basar, karena hal itu dikhawatirkan akan mereduksi hakekat dan tujuan pendidikan itu sendiri. Memang, tujuan pendidikan lebih luas dan kompleks ketimbang hanya pembelajaran agama.

Pada konteks saat ini, dimana kesetaraan, penghargaan terhadap HAM, dan kesadaran terhadap pluralitas masyarakat menjadi tuntutan, maka pertanyaan yang timbul adalah masih relevankah pengajaran agama pada lembaga pendidikan? Padahal kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa pembelajaran agama di sekolah justru melahirkan individu-individu yang sempit, yang hanya mau menerima kebenaran moral dari agamanya, yang menjadikan agamanya sebagai patokan tertinggi kebenaran dan pada gilirannya tidak mau menerima dimensi-dimensi kebenaran dari agama lain. Kita juga sulit mengelak ketika agama dinyatakan sebagai determinan pemecah-belah masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling bermusuhan. Penulis melihat bahwa pendidikan agama hanyalah sebuah indoktrinasi yang tidak mengajarkan peserta didik untuk berpikir kritis.

Para pemuka agama dan guru-guru agama seharusnya malu ketika melihat begitu mudahnya kerusuhan massa terjadi begitu isu agama dihembuskan. Masyarakat kita menerima nilai-nilai agama melalui sosialisasi yang dilakukan para pemimpin dan guru-guru agama tanpa melihat konteks yang plural, akibatnya begitu satu agama bersinggungan dengan agama lain gejolak mudah sekali terjadi, bagaimana pemahaman agama hanya menumbuhkan balas dendam bukannya mencintai sesama manusia.

Pembelajaran agama kerap kali mencerabut individu dari lingkungannya, peserta didik diajarkan bahwa orang seagama adalah saudara, padahal dalam kehidupan sehari-hari peserta didik bukan hanya bergaul dengan orang seagama, bagaimana posisi orang yang tidak seagama? Tentu saja ini hanyalah sebuah contoh kecil dan masih banyak contoh lain yang tidak menunjukkan relevansi pendidikan agama. Membebankan pembelajaran agama pada lembaga pendidikan juga rawan terhadap politisasi agama dimana agama hanya sebagai alat mempertahankan kekuasaan dengan melegitimasi kekuasaan melalui nilai-nilai keagamaan. Saat ini bukan pembenahan pembelajaran agama yang perlu diperhatikan tetapi merekonstruksi tujuan pendidikan secara menyeluruh. Memang, etika dan moral adalah hal penting yang harus menjadi perhatian dalam muatan pendidikan, tentu saja etika yang menghargai pluralitas masyarakat, penghargaan terhadap hak asasi manusia, membentuk berpikir kritis terhadap sistem yang menindas, serta kontekstual dengan kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Kalau mau konsisten dengan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa maka pendidikan juga harus dibebaskan dari indoktrinasi yang pada akhirnya hanya menghasilkan truth claim serta membunuh pikiran-pikiran cerdas dan kritis.

Penulis agaknya sepakat dengan apa yang diutarakan oleh Luthfi Assyaukanie (Kompas 15 Maret 2003) bahwa apa yang menjadi persoalan sebenarnya adalah kita terlalu membesar-besarkan peran pendidikan agama dalam membentuk moral bangsa. Padahal bagaimana korelasi kedua hal tersebut masih belum dapat dibuktikan, bahkan saat ini menunjukkan kenyataan yang berkebalikan. Adalah ironis bahwa Indonesia adalah negara beragama yang menekankan pendidikan agama dalam sistem pendidikannya tetapi masuk dalam kategori negara terkorup. Para pemimpin kita tak diragukan lagi pehamannya terhadap nilai-nilai agama, tetapi perilaku yang ditunjukkan sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai yang dicita-citakan tersebut.

Kelompok fundamentalis Islam menyatakan bahwa kegagalan pengajaran agama membentuk moral di Indonesia adalah karena agama yang disampaikan dalam pendidikan saat ini telah jauh melenceng dari jalan yang benar seperti yang disampaikan oleh Allah dan Rasulnya, karena itu meskipun Indonesia memiliki jumlah umat Islam terbesar tetapi memiliki moral terburuk. Anggapan ini sebenarnya tak lebih dari ungkapan frustasi melihat gagalnya pengajaran agama di lembaga pendidikan. Betapa tidak, cobalah kita berkaca pada negara lain yang lebih sekular, ternyata tata kehidupan mereka lebih tidak korup, lebih bersih dan ber-etika.

Tidaklah berlebihan apa yang diungkapkan oleh Luthfi Assyaukanie bahwa kita tidak bisa membesar-besarkan peran pendidikan agama dalam masalah moralitas dan etika. Masalah moralitas dan etika seharusnya bukan hanya termuat pada pelajaran agama saja tetapi pada semua mata pelajaran, mata pelajaran agama seharusnya menjadi mata pelajaran pilihan saja yang boleh diambil atau tidak oleh peserta didik. Penulis berpendapat bahwa agama adalah wilayah privat, karena itu pembelajaran agama seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Kalau kita benar-benar ingin mewujudkan tata kehidupan yang demokratis maka mestinya kebebasan yang dimiliki masyarakat bukan hanya kebabasan untuk memilih agama tetapi juga kebebasan untuk tidak memilih agama.

RUU sisdiknas yang diusulkan oleh DPR dalam salah satu pasalnya menyebutkan “setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya….” Seharusnya diubah diperluas dengan menyebutkan bahwa peserta didik berhak untuk memilih mangambil atau tidak palajaran agama di suatu lembaga pendidikan, begitu juga lembaga pendidikan tidak harus menawarkan pelajaran agama.

Sudah saatnya lembaga pendidikan mejadi sebuah lembaga yang membebaskan. Membebaskan masyarakat dari sistem yang menindas, membebaskan manusia dari doktrin yang justru mencabut dirinya dari realitas. Penulis tidak bermaksud untuk merendahkan peran dan posisi agama dalam kehidupan masyarakat, tetapi paling tidak menggugah kita untuk merefleksikan kembali apa yang kita harapkan dan apa yang kita dapatkan dari pembelajaran agama selama ini, dan pada gilirannya kita dapat menimbang apakah mewajibkan pendidikan agama pada lembaga pendidikan (sekolah) masih relevan?


Posted in Uncategorized

Topik: Guru; Antara Profesionalisme dan Kesejahteraan (Guru Oh Guru; Renungan Hari Guru Nasional 25 November 2007) Tanggal: 24 November 2007

August 25, 2009
Leave a Comment

GURU OH GURU

Oleh: Irham Sya’roni

Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak guru//Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku//Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku//Sâ?Tbagai prasasti trima kasihku â?~tuk pengabdianmu//Engkau bagai pelita dalam kegelapan//Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan//Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa//

Bait yang indah dan selalu dikenang, terlebih setiap 25 November dalam rangkaian peringatan Hari Guru Nasional. Tak ada yang menampik bahwa lagu ini memang indah. Sayang, keindahannya tidak berjalan linier dengan nasib penciptanya, Sartono, guru kesenian di SLTP Kristen Santo Bernandus Madiun, Jawa Timur. Juga nasib mayoritas guru di Indonesia.

27 tahun sudah usia hymne ini. Selama itu pula gelar ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ selalu disandangkan kepada guru. Di satu sisi gelar ini amat menyanjung, namun di sisi yang lain justru kurang menguntungkan bagi profesi guru. Pasalnya, seringkali penghargaan yang mereka terima tak lebih dari sekadar pemanis bibir, sloganistis, dan bernuansa verbalisme.

Akibat verbalisme dan sloganisme inilah dunia pendidikan di Indonesia tak kunjung membaik, bahkan terpuruk. Termasuk di dalamnya adalah keterpurukan nasib mayoritas guru itu sendiri. Guru dikesankan sebagai kelompok masyarakat yang melakukan pekerjaan �tulus� tanpa boleh menuntut hak dan kesejahteraan yang semestinya.

Kesejahteraan dalam arti luas bukan hanya persoalan gaji, melainkan lebih dari itu juga menyangkut kelancaran dalam kenaikan pangkat, rasa aman dan nyaman dalam menjalankan profesinya, kepastian karier, hubungan antarpribadi, dan perlindungan hukum.

Terkait rasa aman dan perlindungan hukum, kisah Komunitas Air Mata Guru dapat kita jadikan contoh betapa profesi guru belum sepenuhnya dilindungi dan diberkati rasa aman. Para guru yang tergabung dalam komunitas tersebut semestinya menerima kalungan medali karena telah berjasa mengungkap banyak kekurangan dan kecurangan UN 2007 kemarin. Namun, apa yang terjadi? Mereka justru diintimidasi, diisolasi, bahkan diberi sanksi administratif oleh pihak sekolah dan juga dinas pendidikan setempat.

Sementara terkait rasa nyaman dan perlakuan humanis, â?otragedi insentif di Diknas Slemanâ? dapat kita jadikan amsal. Dua hari menjelang Idul Fitri 1428 H, para guru membanjiri Kantor Diknas Sleman untuk mengambil insentif tambahan. Mereka dipaksa menunggu berdesak-desakan selama berjam-jam (karena jadwal pembagian molor lebih dari dua jam).

Saat itulah pemandangan ironis dipertontonkan. Ada yang bersimpuh (glesotan, klekaran) di lantai sambil menggendong bayinya, ada pula yang berebut posisi antrian. Sontak suasana menjadi gaduh. Seornag petugas pembagi insentif berusaha mengondisikan massa (para guru). Dengan nada kelakar ia berteriak, â?oAyo, adik-adik, tenang! Antri yang rapi ya!â? Bagi non-Jawa, kalimat ini barangkali tidak begitu mengusik. Namun, bagi masyarakat Jawa yang memang sensitif, kalimat itu sungguh menyakitkan, merendahkan martabat.

Sebagai sebuah profesi, sudah sewajarnya guru diperlakukan secara profesional sesuai hak-hak profesinya, termasuk kesejahteraan. Namun demikian, sebagai sebuah profesi, guru juga harus menepati kewajiban-kewajibannya secara baik, penuh tanggung jawab, dan profesional.

Guru Inspiratif

Pendidikan dan guru laksana dua sisi mata uang, sama-sama penting dan saling bergantung. Pendidikan yang baik hanya dapat terwujud manakala dilengkapi dengan guru-guru yang berkualitas, kreatif, berwatak pembebas, berintegritas tinggi, demokratis, dan tidak tertelikung oleh birokrasi pemerintahan maupun politik.

Guru memang bukan satu-satunya elemen penentu keberhasilan pendidikan, namun tidak berlebihan apabila dikatakan guru adalah kunci utama pendidikan. Perubahan kurikulum dengan beragam julukannya –CBSA, KBK, KTSP, atau apa pun sebutannya– tidak akan membawa perbaikan yang signifikan manakala manusia dewasa yang bernama guru itu tidak memahami dan menjalankan profesinya secara kreatif dan bertanggung jawab.

Guru adalah ujung tombak pendidikan, sementara birokrasi pendidikan hanyalah motivator untuk melejitkan kecerdasan dan kreatifitas mereka. Guru yang cerdas dan kreatif tentu paham tentang hak kebebasannya berekpresi, sehingga ia tidak selalu dalam bayang-bayang kekhawatiran â?osalah prosedurâ? atau menyalahi standar birokrasi.

Dalam meneropong persoalan ini, Ketua Program Magister Manajemen Uinversitas Indonesia Rhenald Kasali mengklasifikasi guru dalam dua tipe: guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Yang ia ajarkan hanyalah sesuatu yang standar (habitual thinking).

Sementara tipe kedua bukanlah guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengelola dan meramunya di dalam, lalu membawa kembali keluar untuk masyarakat luas.

Jika tipe pertama menghasilkan manajer-manajer yang andal, maka tipe kedua melahirkan pemimpin-pemimpin yang berani merobohkan kebiasaan lama yang kontraproduktif. Kedua tipe ini sama-sama dibutuhkan, karena salig melengkapi. Tetapi ironisnya, sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Padahal guru inspiratif amat menentukan masa depan bangsa agar keluar dari krisis. Ketika guru inspiratif kian dibelenggu dan dikerangkeng, maka semakin sulit bangsa ini keluar dari krisisnya.

Semula kita amat berharap kepada kurikulum muda yang bernama KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), yang kemudian berganti baju menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Pada dasarnya kurikulum ini menuntut guru bertindak aktif-kreatif, bukan sekadar menjadi robot-robot birokrasi. Guru dituntut bisa mendorong peserta didik untuk sadar akan potensi yang dibawanya, kemudian menemukan pengetahuan dan menguasai kompetensi-kompetensi tertentu sesuai potensi-potensi tersebut baik di ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.

Namun, idealisme ini tampaknya hanya ada di angan. Guru tetap saja pasif dan cenderung taken for granted terhadap pernak-pernik kurikulum yang dititahkan oleh birokrasi pendidikan. Entah guru yang salah ataukah memang demikian skenario buruk yang dirancang birokrat untuk mengegolkan â?oproyek-proyeknyaâ?? Wallahu a’lam

Lantas, kreativitas apa yang sudah dimainkan guru selama ini? Tak lain sekadar melakukan transfer pengetahuan dari dalam buku pelajaran, kemudian menyimpannya di dalam otak peserta didik, lalu mengeluarkannya manakala ujian digelar. Hasil pungkasannya adalah angka-angka fantastis di atas selembar ijazah.

Semoga momentum 25 November menjadi tonggak kebangkitan dunia pendidikan kita, sekaligus perbaikan nasib para Oemar Bakrie yang selalu dikebiri. Di samping juga kebangkitan para guru dalam meningkatkan profesionalismenya.


Posted in Uncategorized

Judul Artikel: Visi Keberagamaan, Sekarang dan Masa Depan Topik: Agama

August 25, 2009
Leave a Comment

Artikel:

VISI KEBERAGAMAN, SEKARANG DAN MASA DEPAN
(Oleh: Nurdin Somantri*)

Fakta Sejarah : Bangsa Indonesia ramah ?
Saya awali naskah renungan ini dengan pertanyaan, ramahkah kita ini ? Pertanyaan itu muncul ketika saya berfikir dan merasakan kehidupan bangsa kita akhir-akhir ini. Penuh gejolak kerusuhan antara agama dan etnis yang terlepas dari apakah itu berupa akibat konstelasi kehidupan perpolitikan bangsa kita, ataukah karena pengaruh eksternal yang lebih luas: krisis identitas diri karena dampak globalisasi, informasi mondial, atau cultural shock. Saya sangat terkejut ketika membaca kefrustasian seorang sosiolog bahwa kita ini bangsa inlander, bangsa yang dendam akibat penjajahan.

Melihat Sejarah khususnya sejarah Jawa, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam nuansa kehidupan kekuasaan Jawa, masyarakat Jawa tak pernah lepas dari hiruk-pikuk pertikaian kekuasaan antara satu dinasti ke dinasti lain, lepas dari apakah itu memang strategi Belanda atau memang orang Jawa secara inheren senang akan pertikaian demi mempertahankan status quo. Yang jelas sejarah mencatat sekian ribu barel darah telah tumpah untuk sampai bangsa kita ke keadaan sekarang ini.

Apakah kekerasan sekarang ini identik dengan apa yang telah terjadi dulu ? Perlu kajian mendalam atas masalah itu. Yang jelas sekarang ini hampir tiap hari kita dininabobokan oleh program-program TV menarik yang penuh dengan violent actions, dan itu sudah masuk menjadi bagian activitas sehari-hari dari generasi muda yang kita punyai sekarang. Mereka bukan lagi generasi si Unyil, tetapi generasi mighty power ranger. Dalam film si Unyil kita masih diajarkan moralitas, baik buruk dan konsekuensi-konsekuensi, tetapi dalam yang terakhir nuansa itu hampir tak ada.

Ajaran Agama : Diajarkankah kekerasan ?
Sejarah Islam mencatat bahwa Muhammad SAW memilih perang jika dan hanya jika penyelesaian damai memang sudah tidak mungkin lagi. Ini simbul bahwa kekerasan adalah jalan terakhir. Disitulah nampak keanggunan Islam sebagai ajaran yang universal. Islam melihat agama lain sebagai imbangan moralitas manusia, maksudnya jika anda muslim, entah karena keturunan atau karena keinginan kita untuk menjadi muslim, anda dibawa oleh nabi untuk melihat bahwa penganut agama lain adalah kakak-adik kita.

Bagaimanapun Islam tidak lupa akan sejarah. Ia agama yang melengkapi agama yang sudah ada. Tetapi ketika dihadapkan pada peran misinya sebagai agama dunia ia tidak lupa untuk terus berpijak pada sejarah keramahannya. Masih ingatkah kita ketika nabi mengajak pamannya yang dicintainya (Abu Thalib) agar segera masuk Islam sampai-sampai ketika pamannya itu hampir wafat? Nabi ditegur Tuhan karena terperosok dalam kesedihan karena keteguhan pamannya itu. Ini bisa berarti, bahwa dimasa depan, yang begitulah fenomena manusia, ada yang bisa terbuka akan Islam, ada yang tidak. Kepada yang bisa, binalah keislamannya, bagi yang tidak, jangan pernah engkau memaksanya. Jangan pernah kita terjebak pada nominalitas agama, tetapi harusnya kita berpijak pada keuniversalitasan Islam itu sendiri. Jika memang kekerasan hanya diajarkan sebagai jalan terakhir, maka mengapa kekerasan sekarang menjadi bagian hidup kita? Sakitkah bangsa kita?

Ini kajian psikologis. Mari kita cek dari segi agama. Adakah pola yang salah dalam pengajaran dan penyebaran agama selama ini? Kita masih melihat ada orang yang begitu marah melihat ada acara agama lain di TV, pada saat yang sama ia lupa bahwa TV itu sendiri bukan orang Islam yang mengembangkannya tetapi bangsa penganut agama lain. Saya masih sering mendengar ada khotib yang mencerca agama lain, di sisi lain ia lupa bahwa apa yang ia pakai, gaya hidup yang ia terapkan sehari-hari adalah gaya hidup yang diakomodir dari penganut agama lain. Jadinya serba ironis, kesadaran historis begitu rendahnya, sampai-sampai mempermalukan dirinya sendiri. Apa yang terjadi dalam penyebaran agama? Mungkinkah kita terlalu berat sebelah pada normatifitas agama tersebut tanpa memperhatikan historisitasnya?

Bagi ummat Islam, kita ingin hukum Islam ditegakkan, tetapi berpijaklah pada realitas bahwa Islam disebarkan di negeri ini berbeda dengan yang dikembangkan di timur tengah sana. Untuk mengerti perlu waktu dan proses. Cepat atau lambat, proses Islamisasi perlu waktu. Ada proses yang harus dilalui, dan itu sangat tergantung pada waktu dan kondisi. Proses tersebut belum selesai. Hanya dengan strategi yang penuh kasih sayang, seperti halnya Islam itu sendiri yang rahmatan lil ‘alamiin, Islamisasi itu akan berjalan damai dan mewujud pada peradaban yang akan terbentuk nantinya. Sebuah masyarakat madani, dimana kita hidup dengan suka cita, bersisian dengan umat yang diijinkan Tuhan untuk menghirup udara dunia ini.

Solusi: Beberapa Konsep

    1. Harus ada strategi baru dalam penyebaran agama (Islam) yang lebih berpijak secara imbang antara normatifitas dan historisitas.

    2. Perlu visi yang jauh dan dinamis dalam hubungannya kita berrelasi dengan penganut agama lain. Penganut agama lain bukanlah musuh, tetapi seperti yang dikatakan Safii Maarif, adalah kakak-adik kita. Mereka adalah teman dalam menegakkan moral. Islam itu sendiri hakekatnya adalah moral. Aku diutus ke muka bumi hanyalah untuk menyempurnakan akhlaq, demikian sabda nabi. Sebagai sesama penegak moral, maka musuh bersamanya adalah immoralitas, bukan perbedaan nominalitas agama.

    3. Sikap infantil dalam beragama hanya akan melecehkan agama itu sendiri. Perlu kematangan, pemikiran yang mendalam dalam pengembangan ajaran agama. One way approach sudah tidak bisa lagi dilakukan dalam abad milenium ini, satu-satunya pilihan lihatlah agama (Islam) dari berbagai sisi: multi dimentional approach.


Posted in Uncategorized

Judul Artikel: Pendidikan nilai/budi pekerti: MATA dan TELINGA Topik: pendidikan nilai

August 25, 2009
Leave a Comment

Artikel:

Pendidikan nilai/budi pekerti: MATA dan TELINGA

Dalam kesempatan pertemuan “Pendidikan Katolik Internasional” di Brasilia-Brasil, seorang rekan dari Amerika Serikat berceritera bahwa “seorang anak nonton tv satu jam saja sudah akan berpengaruh terhadap perilakunya”. Pernyataan itu kemudian kami eksplorasi bersama: mengapa demikian. Di Amerika cukup banyak saluran tv. Bukankah seseorang termasuk anak akan menonton siaran tv tidak hanya asal menghidupkan pesawat tv, tetapi yang bersangkutan pasti akan memilih saluran atau siaran-siaran yang diminati alias menjadi seleranya. Yang menjadi masalah adalah selera. Mengapa menjadi masalah?

SELERA
Mengikuti selera berarti memuaskan keinginan pribadi, atau secara kasar dapat dikatakan “memuaskan nafsu”. Untuk mengeksplorasi masalah selera ini saya sampaikan, sekali lagi berupa ceritera, ceritera dari seorang dokter untuk tentara. Sang dokter pada suatu saat berkata:”Tugas saya adalah menjaga kesehatan tentara, antara lain menyediakan makanan yang memadai demi kesehatan. Untuk itu harus saya perhatikan gizi (mutu) maupun banyaknya. Demi kesehatan: apa yang saya sediakan harus dimakan habis, mereka tidak boleh makan menurut selera sendiri. Karena kalau mereka makan menurut selera sendiri, mereka tidak akan sehat alias sakit-sakitan, dan dengan demikian tidak layak menjadi prajurit yang siap tempur”. Kalau makan menurut selera tidak sehat untuk pertumbuhan dan perkembangan phisik, bagaimana jika pergaulan, bekerja dst..hanya mengikuti selera? Bukankah juga tidak sehat?

Orang(anak) yang hanya mengikuti selera atau dominan dalam hal selera akan cenderung menjadi egois, dan jika ia menghadapi tantangan atau sesuatu yang tidak sesuai dengan seleranya, ia akan marah (mencelakakan yang lain: kalau ia tidak punya kuasa akan “ngambek/dableg”/membisu, kalau ia penguasa dapat membuat kebijakan yang membuat orang lain menderita). Terbiasa mengikuti selera pribadi akan membuat orang kurang menghargai yang lain atau tidak tahan dalam penderitaan/tantangan/kesulitan.

MATA DAN TELINGA.
Dua indera kita ini aktif sejak kecil dan merupakan sarana untuk menerima (reciever) yang canggih. Orang dewasa dapat memilih atau mengikuti selera apa yang dilihat dan didengarnya. Apa yang dilihat dan didengarnya (termasuk yang dibaca) akan berpengaruh kuat dalam pandangan, sikap dan tindakan hidupnya. Bagaimana dengan anak-anak? Bukankah anak-anak tidak atau kurang dapat memilih. Mereka dapat melihat dan mendengar apa yang ada di sekitarnya. Bagaimana orang-orang dewasa di sekitarnya hidup (bertindak dan berbicara) akan berpengaruh terhadap mereka; hiasan dinding yang ditempel di rumah dst.,. akan berpengaruh terhadap mereka dst… Dalam hal melihat dan mendengar ini peting sekali diperhatikan bagi anak-anak balita.

TANTANGAN UNTUK PENDIDIKAN NILAI/BUDI PEKERTI.
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro memiliki filsafat pendidikan yang kita kenal “ing arso asung tulodho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani” (keteladanan, motivasi dan pemberdayaan). Dalam rangka pendidikan nilai/budi pekerti KETELADANAN merupakan cara atau metode yang penting bahkan mutlak untuk dilaksanakan. Maka untuk pendidikan ini KETELADANAN dari para orang dewasa (orangtua, guru, kakak, atasan, pembesar dst..) mutlak untuk dihayati. Keteladanan dalam perilaku atau tindakan (apa yang dapat DILIHAT) dan kata-kata (apa yang dapat DIDENGARKAN). Tantangan: bukankah masa kini krisis keteladanan?

Apa yang DILIHAT nampaknya pada masa kini perlu memperoleh perhatian serius, misalnya:
– siaran tv (termasuk cd/vcd )
– hiasan-hiasan di dinding
– gambar-gambar iklan di jalanan
– perilaku para orang dewasa
– dst..

Demikian pula dengan apa yang DIDENGAR. Orang dapat bermain sandiwara: dihadapan anak kelihatan baik, tetapi jika tidak dilihat anak bertindak seenaknya (mengikuti selera sendiri). Ingat: bermain sandiwara tidak dapat bertahan lama, dan ketika orang tidak mampu bermain sandiwara, alias ia sudah hidup biasa dengan dan melalui perilaku tertentu, ia tak dapat menyembunyikan diri (bersandiwara lagi). Dengan demikian apa yang ia lakukan dengan mudah akan tersiarkan atau diceritakan dari mulut ke mulut…dan kemungkinan sangat besar terjadi ceritera itu sampai ke telinga orang/anak , kepada siapa sebenarnya ia ingin menyembunyikan. Dan jika hal ini terjadi akibatnya akan fatal. Ingat: penyelewengan suami/isteri, korupsi dan sebagaimana. Tantangan: hidup jujur dan disiplin.

Catatan: pengamatan kami anak-anak masa balita kurang memperoleh pendampingan atau pendidikan yang memadai, karena kesibukan orangtua (orangtua tidak punya waktu untuk anak secara memadai). Ketika anak masih kecil(balita) dapat dititipkan pada pembantu atau pengasuh/perawat. Dan memang anak balita tidak akan “rewel” atau “protes” atas hal itu. Tetapi kelak ketika menjadi remaja/pubertas, mereka mulai protes…dan inilah kenakalan yang tak terkendali sebagaimana yang terjadi saat ini. Hal ini merupakan permenungan pribadi. Silahkan para pembaca mengkritisi. Tetapi pengalaman dan pengamatan kami: masa BALITA PENTING (5 tahun pertama usia anak=anak, 5 tahun pertama usia perkawinan/hidup berkeluarga, 5 tahun pertama dalam kerja dst..).

Ign.Sumarya SJ


Posted in Uncategorized

Title of the Article: Bahasa Inggris, Sulit dipelajari atau sulit diajarkan? Topic: EFL Learning

August 25, 2009
Leave a Comment

Article:

Bahasa Inggris, Sulit Dipelajari atau Sulit Diajarkan? * Bukan itu yang perlu dicemaskan……

“Dar der dor..”, begitu culpikan lirik lagu “Sugali” yang dilantunkan Iwan Fals. Untuk menggambarkan bunyi senapan, telinga Indonesia kita mendengarnya seperti lagu Iwan itu. Bagi para bule’, yang mereka dengar justru bunyi “bang..bang.!”. Rentang ‘dor’ dan ‘bang’ tentu jauh. Lalu, telinga siapa yang rusak?
(disadur dari email kiriman teman, Gagah Samudra, di UK)

Oleh: Nur Laely Basir

DOKTRIN belajar bahasa Inggris di Indonesia memang lumayan canggih. Ukurannya penutur asli (native speaker). Lidah pebelajar yang sudah ‘diindonesiakan’ dibuat sedemikian rupa agar bisa menyerupai pelafalan penutur asli. Jika pelafalan tidak mirip penutur asli, maka orang kita (orang Indonesia juga) akan menganggap bahasa Inggris Anda tidak bagus. Anggapan seperti itu akan bermuara pada dua kemungkinan. Pebelajar bahasa Inggris mungkin akan termotivasi atau malah sebaliknya; frustasi.

Alasan lain, kultur sudah membentuk sebagian besar dari kita untuk menghindari ‘salah’ di depan umum. Dan, itu berlaku untuk hampir semua bangsa Asia, termasuk Cina, Korea, dan Jepang. Keumuman di kalangan bangsa Asia itu telah diteliti oleh seorang pakar bernama Kitao yang dikutip di salah satu Jurnal Pengajaran Bahasa Inggris di Astralia. Implikasinya jelas, kita takut mengakui kesalahan bahkan cenderung menyembunyikannya.

Kultur itu juga terimbas pada kami pertama kali hendak berkomunikasi lewat telepon dengan layanan pelanggan di Australia. Dengan bahasa Inggris pas-pasan, ragu dan takut, padu jadi satu. Tidak jadi menelpon, itu yang tersering. Seiring berjalannya waktu, kami mulai terbiasa dengan budaya mereka yang sudah maklum betul dengan lidah Asia. Lidah terbentur, mereka tidak menegur, hanya memperjelas. Apakah budaya kita yang perlu direkonstruki? Tegasnya, tidak! Adaptasi yang perlu. Secara pribadi dan perlahan, kita mampu melakukannya. Melakukan kesalahan berbahasa yang bukan bahasa kita tidak perlu cemas apalagi takut. Bukankah kesalahan juga sarana belajar yang efektif? Bagaimana dengan anak-anak kita di daerah-daerah? Kelihatannya hal-hal di atas tidak begitu mengkhawatirkan. Mereka yang sudah terbiasa mendengan ujaran-ujaran berbahasa Inggris dari film-film Amerika atau lagu-lagu barat akan fasih mengujarkan beberapa ujaran tertentu. Terutama yang paling kerap terdengar di telinga mereka seperti “Cool, man!” itu akan otomatis mereka baca dan ujarkan “kuul meen!”. Sukur-sukur kalau mereka mengerti maksudnya dan sesuai dengan budaya kita sendiri.

Yang menggemaskan hanya kecenderungan mereka meniru ujaran yang melanggar etika kesopanan timur. Tak usahlah dipaparkan di sini sebab mungkin pembaca sudah paham yang saya maksudkan. Bagi mereka, pendapat Skinner sang pelopor aliran perilaku mungkin tepat. Mereka mampu belajar bahasa Inggris dengan meniru ujaran itu dan diikuti dengan stimulus respons plus penguatan dengan imbalan. Jika masyarakat menegur, mereka ketus dan putus asa. Jika tidak, mereka terus.

Kesulitan umum yang dihadapi pebelajar bahasa Inggris berlidah daerah yang dominan hanyalah kemampuan pelafalan. Selebihnya, relatif sama dengan bangsa lainnya. Bagi kita yang sudah terbiasa berkomunikasi verbal dengan bahasa daerah misalnya, akan sedikit terpengaruh dalam mengujarkan leksikon bahasa Inggris. Bahkan bahasa Indonesia pun masih kadang hiperkorek. Dan, hiperkorek seringkali jadi bahan tertawaan seperti kasus di Makassar yang kelebihan vitamin ‘G’ (Makan ikan = Makang ikang). Walhasil, “Ai dong laik Inggelis” (I don’t like English).

Guru bhs Inggris dan orangtualah yang mungkin paling banyak mengeluh jika nilai bhs Inggris anak-anak kita pada rentang 3 – 5 saja. Sudah les, dikursuskan, suka nonton dan dengar lagu barat, meeting tiap minggu, tapi hasilnya masih juga begitu. Lalu? Jangan cemas. Nilai bhs Inggris di sekolah hanyalah standar prestasi, bukan penggambaran kemahiran. Mungkin kita lupa kalau bahasa asing tidak mungkin bisa dikuasai semahir bahasa Indonesia kita dalam tempo 3 tahun dan tetap di Indonesia. Terlalu banyak faktor penghambat yang harus didobrak.

Tapi, bukankah bhs Inggris akan jadi bahasa Global? Bagaimana nasib anak-anak kita di AFTA 2003 (tahun depan)? Pekerjaannya? Posisinya? Statusnya? Bangsa kita? Deretan pertanyaan sejenis itu sulit dijawab oleh guru bhs Inggris, sekolah, atau pemerintah dan bahkan pakar-pakar bahasa kedua sekalipun.

MacNamara memang pernah menyinggung di buku Gardner (Social Psychology in Second Language Learning, the Role of Attitude and Motivation) bahwa di era global, negara di dunia ketiga akan cenderung memilih bahasa yang memberikan keuntungan dari sisi ekonomi dan dominasi politik.

Inilah yang dicemaskan Alastair Pennycook (dosen linguistik di Sydney University of Technology) dengan peran paradoksal bhs Inggris. Bahasa Inggris ibarat pisau bermata dua. Di samping sebagai alat komunikasi efektif di dunia global, juga sebagai alat imperialisme dan kolonialisme Barat model baru. Semua bangsa ‘diharuskan’ bisa berbahasa Inggris untuk kepentingan komunikasi verbal. Pada saat yang sama, budaya dan bahasa kita telah dikikis perlahan dan dipandang sebelah mata.

Apa yang diramalkan Pennycook memang akan benar adanya. Bahasa Inggris menjadi neo-imperialism. Bukankah jelas kalau bahasa Inggris sudah mampu mengkastakan manusia di Negara ketiga. Sengaja dikondisikan sedemikian rupa agar bangsa kita tetap menjadi bangsa terjajah dan terbelakang. Untuk menghindari booming posisi yang menjanjikan bagi bangsa kita, bahasa Inggris dijadikan alasan untuk menghalangi kemampuan mereka. Walhasil, bangsa West tetap menduduki posisi strategis dalam segala bidang. Itu karena kita mau dan sepakat mengiyakan.

Terlepas dari peran ganda bahasa Inggris, harus kita terima bahwa sudah teramat sulit untuk lepas dari dominasinya. Kita perlu bahasa Inggris. Untuk menjawab tantangan global dan pasar bebas, kita tidak bisa berharap banyak dari lembaga pendidikan formal. Belajar bahasa Inggris tidak bisa dengan 3 X 24 jam seperti tawaran buku-buku. Atau, mahir dalam 3 bulan seperti iklan kursus yang selalu bersemi. Kita perlu waktu lebih lama sebab belajar bukan pemerolehan. Memang benar bahwa belajar bahasa asing haruslah seumur hidup sebab bahasa itu hidup dinamis dan terikat dalam budaya lingkungan penuturnya.

Konfrontasi budaya akan terjadi jika kita memaksakannya. Contoh, apakah mungkin di kelas guru mengajarkan materi dengan konteks ‘sexism’ atau ‘drug party’ yang di konteks asalnya ibarat nasi goreng kita di pagi hari? Telaahlah buku teks terbitan asing. Mengajarkan “Good morning” saja (maaf) masih harus pintar-pintar negosiasi dulu dengan “Assalamualaikum”. Minimal negosiasinya dengan keyakinan kita sendiri. Merusak tatanan nilai atau tidak? Yang pasti, kelas tidak mungkin mampu menyediakan situasi yang persis sama dengan konteks yang sebenarnya.

Kita jangan lupa kalau bahasa Inggris di sekolah diajarkan juga karena ‘terpaksa’. Kelas berisi sekitar 45-an siswa dengan latar belakang dan kapasitas yang berbeda. Kurikulum, tidak ada yang lebih baik. Metode pengajaran, pun demikian. Guru mengajar ibarat supir pete’-pete’ mengejar setoran. Belum lagi sebagian bahan tes UAN yang maksudnya menguji kemampuan berbicara disajikan secara tertulis (?). Tes ‘bicara’ kan seharusnya bicara.

Iseng-iseng, pernahkah kita memperhatikan roster yang disusun pihak sekolah? Bhs Indonesia, bhs Inggris, bhs Daerah dan bhs Arab (di Mts) diajarkan pada hari yang sama. Alamak, perang empat bahasa dan empat budaya.

Jika kasusnya di pondok pesantren, ceritanya jadi lain. Paling tidak, pemondok memiliki kelebihan di sisi pembentukan kebiasaan. Dan, itu perlu dalam belajar bahasa. Komunikasi terjadi setiap saat dan mereka menghindari panggilan sidang di mahkamah bahasa. Walaupun hasilnya pasaran, sudah lumayan bagus. Toh, bahasa Inggris juga tak bisa menghindari kemunculan variasinya. Sebutlah misalnya Singaporean English, American English, British English, Australian English, dan Canadian English. Kenapa tidak Indonesian English? Tapi kalau di SLTP umum atau di SMU dengan intensitas pertemuan di kelas hanya sekitar 3 jam setiap minggunya, tidak bisa dijamin. Sungguh, kecerdasan dan bakat bahasa anak-anak kita orang perorang tidak perlu dicemaskan. Itu soal kognitif. Namun, bagaimana dengan afektif domainnya? Persepsi, sikap dan motivasi diakui berpengaruh banyak dalam belajar bahasa. Selain itu, cara dan strategi belajar juga turut berpengaruh. Apakah anak-anak kita memiliki dan membawanya ke kelas? Ini tantangan bagi guru bahasa Inggris.

Jika anak-anak berpersepsi bahwa bahasa Inggris sulit, sikapnya mungkin akan negatif terhadap bahasa Inggris. Biasanya mereka jadi malas ikut pelajaran itu, nongkrong di kantin sekolah atau di toilet dan bahkan kadang sampai loncat pagar. Otomatis mereka tidak termotivasi untuk berprestasi di bidang studi bahasa Inggris. Untuk memotivasi mereka di dalam kelas, diperlukan kreativitas guru menyulap suasana kelas yang membosankan jadi menyenangkan. Hanya saja guru memang bukan pesulap. Mereka hanya insan biasa yang punya keterbatasan. Menyenangi guru bahasa Inggris juga salah satu motif yang bisa mengantar anak mencintai mata pelajaran tersebut. Walaupun sisi ini tidak banyak membantu, paling tidak anak-anak tetap setia mengikuti pelajaran hingga bel menyatakan pelajaran selesai seeiring dengan selesainya paragraf ini.

Penulis adalah Guru Bahasa Inggris SLTP Neg.13 Makassar yang dikaryakan ke Monash University, Melbourne.


Posted in Uncategorized

Judul Artikel: Trend “Mental Aritmatika” Topik: Mental Aritmatika

August 25, 2009
Leave a Comment

Artikel:

Pembelajaran Mental Aritmatika di Indonesia sekarang telah menjadi sesuatu yang trendi. Orang tua merasa ketinggalan bila anaknya tidak ikut Mental Aritmatika. Di Bogor sendiri tempat-tempat untuk belajar Mental Aritmatika secara privat sangat banyak selang setahun ini, belum lagi yang langsung bekerja sama dengan sekolah-sekolah. Mental Aritmatika selama ini sering diidentikkan dengan Sempoa, padahal sebenarnya sangat berbeda. Untuk itu saya ingin mencoba memaparkan apa itu Mental Aritmatika.

Mental Aritmatika berasal dari kata Mental yang berarti pikiran dan Aritmatika yang berarti berhitung. Jadi secara harfiah Mental Aritmatika adalah Berhitung dengan menggunakan Pikiran/tanpa alat bantu.Adapun sempoa adalah alat bantu sementara, sehingga suatu saat sempoa itu tidak digunakan lagi.

Ada setidaknya 5 hal penting yang akan didapat dari belajar Mental Aritmatika, yaitu:

    1. Keseimbangan otak kiri dan otak kanan
    Selama ini, kita (dalam hal ini anak) dalam berhitung hanya menggunakan otak kiri saja, dengan belajar mental aritmatika anak dirangsang untuk menggunakan otak kanan. kenapa? Karena menghitung dalam Mental Aritmatika, seorang anak membayangkan manik-manik berjalan. Dan otak kananlah yang berfungsi untuk menghayal/membayangkan.

    2. Meningkatkan Kreativitas Anak
    Salah satu pemicu kreativitas anak adalah sering digunakannya otak kanan. Dalam menghitung menggunakan mental, seorang anak harus mampu membayangkan sempoa seperti bagaimana, terus harus mampu menggerakkan manik-manik dalam bayangannya, dan harus mampu membayangkan angka berapa yang muncul di akhir bayangannya. Sebuah cara yang menarik sekaligus menantang. Dengan sering berlatih mental, anak menjadi terbiasa menggunakan otak kanannya. Semakin terbiasa menggunakan daya khayalnya, kreativitas anak semakin berkembang.

    3. Meningkatkan konsentrasi
    Belajar Mental Aritmatika sangat membutuhkan konsentrasi yang baik, karena tanpa konsentrasi yang baik tidak akan didapat hasil yang benar. Jadi, seorang anak akan selalu berkonsentrasi dan tidak ingin konsentarsinya buyar. Semakin sering digunakan, konsentrasi anak akan semakin meningkat.

    4. Menambah Kepercayaan Diri
    Sangat jelas, seorang anak kecil seusia 8 tahun bisa menjumlah puluhan bahkan ratusan dengan cepat, sehingga kalau di beri soal oleh kita akan meminta lagi. Siapa takut…. mungkin katanya.

    5. Mengembangkan diri
    Dalam jangka panjang, mental Aritmatika akan membentuk karakter manusia yang inovatif, suka tantangan, berkreasi, serta tidak mudah putus asa. Mungkin ini yang bisa saya sampaikan. Saran dan kritik sangat saya harapkan.


Posted in Uncategorized

Pentingnya pengetahuan dasar komputer yang benar

August 25, 2009
Leave a Comment

Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan terknologi infomasi khususnya komputer saat ini, dimana kita dihadapkan pada suatu kondisi yang mengharuskan kita untuk mengenal, mamahami dan menguasainya. (Diibaratkan kita masuk WC umum, meskipun tempatnya bau tapi kita harus di situ tempat membuangnya) mau tidak mau kita harus mengenalnya.

Namun bagitu ada suatu kondisi yang nyata di lingkungan pendidikan (sekolah), yaitu terdapatnya beberapa kekeliruan atau salah memberi materi pelajaran terhadap siswa khususnya siswa yang paling pertama mengenal pelajaran Komputer atau T I ( Teknologi Informasi) pada SD atau SMP, yaitu lemahnya materi dasar yang harus diterima siswa. Pada beberapa kasus dimana siswa SLTA (SMA atau SMK) seharusnya sudah mengerti tentang DOS ( Disk Operating System ) atau windows dasar, linux dasar atau office dasar (Word,Excel,Power Point dll), namun begitu ketika ditanyakan lagi (diulang) banyak bahkan tidak tahu, entah dimana letak kesalahanya? Namun setelah saya teliti kembali saya mempunyai beberapa kesimpulan diantaranya adalah :

1. Perlunya pendidik (guru) yang memiliki latar belakang minimal akademi komputer yang yang penulis sendiri alami di bekali dan dijejali ilmu-ilmu dasar tentang komputer sehingga dia pun manakala mendidik nanti akan pula memberikan terutama hal-hal dasar tentang komputer, ini penting sekali sebelum meneruskan ke tingkat lanjutan, sehingga apabila dasarnya kuat untuk menerima yang baru pun lebih mudah.

2. Banyaknya budaya instan saat ini, yaitu dengan banyak beredarnya software-software baru sehingga yang sebenarnya kurang penting diberikan, tapi tetap di berikan dengan tujuan lebih maju, atau untuk mempromosikan sekolah tertentu padahal tidak kena sasaran, yang berdampak siswa menerima materi pelajaran komputer tidak pernah maju atau asal saja.

3. Perlunya keseragaman pemberian materi pelajaran dasar dan menengah agar tidak salah sasaran, terutama yang akan diberikan untuk siswa SMK yang biasanya memasuki dunia kerja dengan siswa SMA yang sebagian besar melanjutkan ke Perguruan tinggi.

Dari 3 (tiga) kesimpulan di atas, saya berharap hal-hal insidentil tidak perlu terulang lagi di lapangan sehingga, kewajiban kita sebagai pendidik, menjadi bermanfaat bagi nasib anak bangsa apalagi booming Teknologi Informasi, sepertinya tengah dimulai, apabila awalnya sudah bengkok hasilnya pun bengkok, kita pun berdosa memberikan ilmu yang salah.


Posted in Uncategorized

BLOG GO

July 31, 2009
Leave a Comment

Posted in Uncategorized

Judul Artikel: KEDUDUKAN DAN NILAI PEREMPUAN Topik: HUKUM

July 31, 2009
Leave a Comment

PELANGGARAN TERHADAP HAK PEREMPUAN
Hak-hak yang dimiliki perempuan yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, tetapi sayang hak-hak tersebut sering dilanggar bahkan banyak diantaranya yang tidak mau mengakui bahwa perempuan mempunyai hak yang harus dihormati. Pelanggaran terhadap hak-hak perempuan terjadi pada semua bidang kehidupan, yaitu di keluarga, masyarakat, sekolah, tempat kerja sampai pelanggaran sebagai akibat dari kebijakan pemerintah, agama dan adat istiadat. Kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan banyak terjadi di banyak tempat di muka bumi. Diantara kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan tersebut, adalah :

    (a) Kekerasan dalam Rumahtangga, yang termasuk kelompok ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami pada istrinya; Istri tidak dipenuhi nafkah lahir dan batinnya; Perbedaan perlakuan yang diterima oleh anak perempuan dari pihak keluarga; Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki terhadap anggota keluarga perempuan dan masih banyak lagi kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi di dalam lingkungan rumahtangga yang jarang muncul ke permukaan, karena kekerasan dan perlakuan diskriminasi yang terjadi oleh mereka dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan sebagai salah satu bukti pengabdian pada keluarga, mereka takut jika apa yang terjadi padanya menjadi aib bagi keluarga dan merusak hubungan harmonis dalam keluarga, yang dapat mereka lakukan hanya berdoa pada Tuhan agar apa yang dilakukan keluarga pada dirinya segera berakhir;

    (b) Kekerasan dan Pelecehan di tempat Kerja, tempat kerja merupakan tempat dimana banyaknya pelecehan dan kekerasan yang dilakukan pada perempuan oleh laki-laki. Kekerasan dan pelecehan seksuil di tempat kerja terjadi di semua tingkatan, mulai level bawah (buruh) hingga level puncak (staf dan pimpinan). Jenis pelecehan seksual yang sering diterima seorang pekerja perempuan cukup banyak diantaranya : colekan iseng pada organ seksual perempuan terutama pantat dan dada, pembicaraan yang mengarah ke pornografi, sampai ke ajakan untuk berbuat tidak senonoh. Perilaku ini sering dilakukan oleh teman sekerja atau atasan mereka. Tidak sedikit karyawati yang rela diperlakukan tidak senonoh demi mengejar karir dan sesuap nasi. Pelanggaran lainnya terhadap hak perempuan, adalah pelanggaran terhadap hak cuti pekerja perempuan karena datang bulan, dan melahirkan;

    (b1) Kekerasan dan Pelecehan karena adat istiadat dan budaya, Akibat dari masih kentalnya sistem patriaki pada menyarat Indonesia, khususnya Masyarakat Tradisional, banyak kaum perempuan hanya dijadikan pemenuh hawa nafsu laki-laki, dan menjadi abdi kaum laki-laki;

    (c) Kekerasan dan Pelecehan terhadap Perempuan di tempat keramaian, Pelanggaran hak perempuan dan atau pelecehan terhadap perempuan sering juga terjadi di pusat-pusat keramaian, banyak laki-laki iseng yang sengaja mencolek bagian tertentu perempuan atau menggombalinya dengan kata-kata yang kurang pantas. Pada kondisi ini perempuan seringkali tidak mampu untuk memberikan perlawanan, akibat posisi dirinya yang lemah;

    (d) Kekerasan sebab Agama, dalam kehidupan sehari-hari terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan dengan berlandaskan pada nilai-nilai keagamaan. Hal ini terjadi karena banyak orang yang salah dalam mentafsirkan atran-aturan keagamaan, sehingga tradisi yang berkembang di masyarakat menimbulkan bias gender. Perempuan diposisikan sebagai sub ordinasi dari tulang rusuk Adam yang diciptakan untuk melengkapi hasrat dan keinginan laki-laki. Kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi, dan sosial budaya. Kekerasan yang bertema agama paling sulit dideteksi karena pada umumnya berada di lingkungan domestik. Tema-tema kekerasan tersebut tercakup dalam konsep hukum kekeluargaan, khususnya berhubungan dengan perkawinan, seperti legalitas poligami, kekerasan seksual, wali penentu calon suami anak, belanja keluarga, talak, dan persyaratan muhrim bagi perempuan yang akan mengakses dunia publik dan sebagainya.

    (e) Kekerasan terhadap Perempuan dalam Media Cetak, Media massa bukanlah tempat yang bersih dari kegiatan yang menggambarkan kekerasan terhadap perempuan. Hampir setiap saat kita simak dalam harian, tabloid, majalah atau media cetak lainnya berbagai kekerasan dan pelanggaran hak-hak perempuan. Kita sering menyaksikan tubuh-tubuh indah perempuan dipajang di cover majalah atau tabloid dengan menggunakan pakaian yang maaf sangat minim, atau kita juga sering membaca berbagai cerita atau berita tentang kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan sebagai pelengkap sajian berita dan cerita, semua ini dilakukan guna menarik perhatian calon pembeli yang pada akhirnya diharapkan dapat menaikkan Tiras penjualan.

    (f) Eksploitasi Perempuan dalam Media Elektronik, Pada media elektronik kita sering menyaksikan bagaimana kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan digambarkan, Hampir semua tayangan TV terutama Film dan Sinetron selalu mengangkat tema penderitaan seorang perempuan atas pelanggaran terhadap haknya dan ternyata tayangan tersebut mampu meraup keuntungan, tayangan lainnya berupa iklan produk yang seringkali demi meningkatkan penjualan harus mempertontonkan kemolekan tubuh perempuan.

NILAI DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN SAAT INI
Perempuan mempunyai kedudukan khusus di dunia, nilai dan kedudukannya sekarang dapat sejajar dengan laki-laki, karena sebenarnya di mata Tuhan tiada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tentang perempuan, Agust Bebel yang dikutip Soekarno dalam Sarinah menuliskan, Di atas pundak wanitalah terletak kewajiban untuk tidak ketinggalan di dalam perjuangan ini, dalam mana diperjuangkan kemerdekaan mereka dan pembebasan mereka. Mereka sendirilah harus membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat mereka dalam perjuangan sekarang untuk mengejar masa depan yang lebih baik. Pihak laki-laki berkewajiban membantu mereka dalam membuang semua purbasangka yang salah, dan membantu mereka ikut serta dalam perjuangan.

Dalam kenyataannya, banyak perempuan mempunyai nasib yang tidak sehalus kulitnya, mereka mempunyai posisi bukan sebagai seorang putri, tetapi seorang abdi atau bahkan seorang budak yang seluruh kehidupannya harus dihabiskan untuk mengabdi pada laki-laki. Emansipasi yang didengung-dengungkan di seluruh penjuru negeri belum mampu mengangkat martabat semua perempuan, hanya sebagian diantara mereka yang bisa hidup setarap dengan laki-laki. Karena posisinya, seorang perempuan dapat menjadi penyebab keberhasilan atau keagagalan dalam mencapai tujuan. Dewasa ini kita masih sering mendengar terjadinya berbagai tawuran pelajar, pemuda atau kampung yang bersumber dari hal sepele, yaitu diawali dari rebutan seorang gadis oleh dua orang laki-laki, sehingga ada ungkapan di masyarakat, Orang hilang kehormatan karena perempuan, awal dari permusuhan adalah perempuan.

KEDUDUKAN DAN NILAI PEREMPUAN DALAM AGAMA
Kondisi masyarakat Arab saat sebelum datangnya Islam sangat mengagung-agungkan laki-laki, mereka merasa sangat hina jika mempunyai anak perempuan, sehingga jika istri mereka melahirkan anak perempuan maka bayi yang tidak berdosa itu akan dikubur hidup-hidup. Ketika ajaran Islam datang, harkat dan martabat perempuan diangkat mereka disejajarkan dengan laki-laki, tiada perbedaan antara keduanya. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah dalam Al Qur’an dan hadits nabi yang menjadi pegangan hidup umat Islam. Walaupun Islam memperbolehkan poligami bukan berarti Islam melecehkan hak dan martabat perempuan, karena poligami yang diperbolehkan jika laki-laki mampu berbuat ADIL. Selain itu Islam tidak mentolelir yang namanya perzinahan, sebab perzinahan merupakan suatu perilaku pelecehan terhadap perempuan dan merupakan suatu perilaku yang tidak bertanggung jawab.

Dalam Al Qur’an surat An Nisaa ayat 1 Allah berfirman Hai sekalian manusia ! bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari keduanya Alllah memperkembang-biakan laki-laki dan perempuan yang banyak, masih pada surat yang sama Allah berfirman, Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik ia laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan tidak dianiaya walau sedikitpun (QS. 4 ayat 124). Berkaitan dengan pemaksaan terhadap perempuan Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan padanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (QS. 4 ayat 19).

Rasulullah Muhammad, SAW dalam haidtsnya yang berkaitan tentang hubungan antara laki-laki dengan perempuan mengungkapkan, Orang yang paling baik diantara kamu, adalah orang yang paling baik kepada ahli rumahnya (istrinya), dan aku ini sebaik-baik orang diantara kamu dan ahliku. Tidak menghormati perempuan, kecuali orang yang terhormat, dan tidak menghinakan perempuan, melainkan orang-orang yang hina (HR. Ibnu ‘Asaakir dari Ali, RA); Sesungguhnya kesempurnaan iman kaum mu’min laki-laki, adalah mereka yang baik budi pekertinya dan lebih sopan kepada isterinya (HR. Turmudzi dan Hakim); Ketahuilah, sesungguhnya bagi kamu ada suatu kewajiban atas isteri-isterimu dan bagi isteri-isterimu ada suatu kewajiban atas kamu. Adapun kewajibanmu (laki-laki) atas isteri-isterimu, mereka janganlah menginjakan tempat tidurmu orang yang tidak kamu sukai, dan mereka janganlah memperkenankan masuk di rumah-rumah kamu orang yang tidak kamu sukai; dan kewajiban mereka (isteri) atas kamu, ialah kamu berbuat baik kepada mereka itu dalam pakaian dan makanan mereka (HR. Turmudzi dan Ibnu Majah). Berkaitan dengan menuntut ilmu, Rasulullah SAW bersabda, Mencari pengetahuan itu wajib bagi tiap-tiap orang Islam laki-laki dan orang Islam perempuan (HR. Ibnu ‘Adi dan Al Baihaqi). Dari firman Allah dalam Al Qur’an dan Hadits nabi Muhammad, SAW tersebut ditunjukkan bahwa Islam memberikan posisi yang sama antara perempuan dengan laki-laki, mereka tidak dibedakan dalam hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah.


Posted in Uncategorized

BANGKU SEKOLAH YANG KIAN MAHAL Oleh: Sixtus Tanje

July 29, 2009
Leave a Comment

Pendidikan pada saat ini tidak lagi menjadi kegiatan spontan tanpa suatu pengorganisasian yang ketat dan terpadu. Orang tua telah memberikan peranan dan fungsi pendidikan rumah kepada sekolah-sekolah mulai dari play group hingga perguruan tinggi. Orang tua juga masih memasukkan anaknya ke lembaga-lembaga kursus dan lembaga bimbingan belajar termasuk mengikutkan anak pada les-les privat di rumah.

Orang tua mengambil sikap seperti ini karena mereka merasa tidak punyai waktu untuk melaksanakan pendidikan rumah secara efisien. Juga karena mereka sudah terikat dengan kesibukan profesional mereka entah sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, karyawan perusahaan, orang bisnis, atau sebagai buruh bangunan. Pendidikan dalam paradigma berpikir sebagian orang tua pada saat ini, merupakan peran tunggal para guru – dan seolah hanya di sekolah proses pendidikan itu dilakukan.

Kenyataan ini mengakibatkan hampir seluruh proses pendidikan anak oleh orang tua di rumah dilimpahkan ke sekolah-sekolah. Bahkan soal pembinaan moral keagamaan tidak lagi menjadi urusan keluarga saja melainkan menjadi urusan lembaga pendidikan formal di sekolah. Dengan demikian maka proses pendidikan akhirnya mengalami pergeseran makna yang tidak signifikan dengan misi dasarnya “memanusiakan manusia”.

Efek terhadap pelembagaan pendidikan telah menimbulkan dampak sosial yang tidak sepele. Fakta bahwa sekolah sudah hadir di tengah masyarakat sebagai suatu lembaga sosial dan menjadi sub-sub sistem sendiri, tidak lagi dapat di sangkal oleh siapa pun juga. Proses pelembagaan pendidikan secara formal lewat sekolah didesak oleh perkembangan masyarakat yang beralih dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri dan teknologi, maupun oleh tuntutan kebutuhan yang diakibatkan pertumbuhan dan perkembangan itu sendiri. Soal peningkatan produksi, misalnya, membutuhkan suatu kerja yang tidak setengah-setengah baik dalam hal penggunaan waktu, peralatan, dan perhitungan biaya laba-rugi. Semua ini membutuhkan dan mengandalkan ilmu pengatahuan sebagai pra syarat utama pencapaiannya. Dan untuk itu, rupanya keluarga dan rumah tangga bukanlah tempat yang paling cocok. Maka sekolah pun tampil sebagai alternatif baru sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan secara professional.

Penting dan perlunya lembaga pendidikan sekolah menjadi kentara kalau ditempatkan dalam konteks modernisasi pembangunan yang berciri semesta. Bagaimana pun hampir tidak ada negara modern yang maju dalam segi modernisasi tanpa pendidikan sekolah yang dikelola secara profesional. Itu berarti, modernisasi pembangunan hanya berjalan kalau ada tenaga-tenaga profesional yang dididik dan dibina menurut disiplin ilmu yang dibutuhkan. Dan di sekolah hal itu akan terpenuhi.

Sayangnya, proses pelembagaan pendidikan bukan saja membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) semata, tetapi pelembagaan pendidikan juga telah turut melahirkan berbagai masalah sosial yang tidak manusiawi. Dari proses pelembagaan pendidikan itu akhirnya tidak semua masyarakat bisa mendapatkan kesempatan pendidikan – yang ujung-ujungnya tidak sedikit anak-anak usia sekolah yang terpaksa tidak menikmati indahnya dunia pendidikan dan kemudian memilih menjadi pengamen, pengemis, penjual koran, buruh bangunan, dan lain sebagainya. Akibat pelembagaan pendidikan itu juga, gap antara masyarakat kaya dan miskin menjadi semakin lebar – sehingga munculnya kecemburuan sosial yang kemudian melahirkan masalah sosial baru.

Pada tataran ini Ivan Illich, seorang ahli pendidikan mengamati dampak negatif yang timbul setelah terjadinya proses pelembagaan pendidikan lewat sekolah-sekolah. Tesis Illich yang pokok mengatakan bahwa sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal, kini tampil dan menghadirkan dirinya sebagai suatu lembaga struktural baru yang justru menggali jurang (gap) sosial. Sebagai suatu lembaga sosial, sekolah sudah tidak lagi dapat menjalankan peran dan fungsi sosialnya secara terpadu.

Sekolah sebagai suatu institusi sosial dalam pengamatan Ilich telah melembagakan dirinya sebegitu rupa sehingga tidak berbeda jauh perangai dan wataknya dari institusi-institusi sosial lainnya yang cenderung berciri elitis dan mempertahankan status quo. Bahkan segelintir orang yang mengenyam pendidikan formal, akan membentuk kubu elite sosial setelah ada legitimasi lewat pendidikan formal berupa ijazah, kepandaian, kesempatan belajar untuk menjadi tenaga ahli, yang dalam kehidupan bermasyarakat sering memegang peranan dan posisi kunci dalam membentuk kebijakan sosia-ekonomi yang menyangkut hidup orang banyak. Dalam situasi seperti ini, maka peluang korupsi, kolusi, dan nepotisme termasuk monopoli kepentingan dan kebutuhan sering tak terhindarkan.

Pada kekinian, pengelolaan lembaga pendidikan sekolah secara profesional sesuai tuntutan zaman telah menjadikan sekolah sebagai suatu barang istimewa yang sangat mahal biayanya. Soal peningkatan mutu pendidikan, misalnya, selalu mengandalkan ketersediaan fasilitas, manajemen yang berbobot, dan tenaga pengajar yang mumpuni. Atas nama itu semua, maka diperlukan biaya pendidikan yang mahal pula. Dengan demikian maka sebetulnya sekolah menjadi barang istimewa yang mahal biayanya, sehingga masyarakat kelas menegah ke bawah tidak bisa memperoleh pendidikan.

Masuk sekolah pada kekinian tidak semudah dan semurah 10-30 tahun yang lalu. Untuk masuk Sekolah Dasar swasta di Jakarta pada saat ini, misalnya, orang tua diharuskan terlebih dahulu membayar uang gedung 5-7 juta rupiah. Selain itu, SPP yang harus dibayar per bulan Rp.250.000-500.000, belum lagi uang seragam dan buku yang diharuskan beli di sekolah. Jika di jenjang pendidikan paling dasar saja biaya pendidikannya sudah sedemikian mahal maka sudah pasti jenjang pendidikan menegah dan pendidikan tinggi lebih mahal lagi – yang dengan sendirinya ada batasan kemampuan ekonomi masyarakat untuk menerima pendidikan di Indonesia .

Pada konteks inilah Ivan Illich sampai pada kesimpulan bahwa dalam praksisnya, sekolah sering menjadi alat legitimasi sekelompok elite sosial. Karena itu, Illich dengan lantang berteriak, “Bubarkanlah sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Buka dan kembangkan praksis pendidikan sekolah bebas – bebas dari segala birokratisme yang melahirkan sekelompok elite sosial serta bebas dari tuntutan profesionalisme yang menghasilkan pendidikan biaya tinggi.”

Jika kita cermat, letak masalah dalam pendidikan kita adalah adanya pelembagaan pendidikan yang sedemikian ketat lewat undang-undang pendidikan, birokratisme pendidikan, dan kurikulum pendidikan – yang tidak didukung kontrol yang jelas dari elite kekuasaan. Gugatan dialamatkan pada dunia pendidikan kita saat ini juga karena pendidikan untuk semua (education for all) telah direduksi menjadi sekedar pendidikan hanya untuk mereka yang kaya saja – setidaknya dilihat dari kenyataan yang ada saat ini.


Posted in Uncategorized
Next Page »

About author

very2 crazy...hahah

Search

Navigation

Categories:

Links:

Archives:

Feeds